Sebuah Hari

Saya masih ingat betul waktu itu. ketika panas terik, seseorang menjemput saya ke sekolah. Kemudian dalam perjalanan pulang dia menyampaikan kabar duka itu. Saya tidak bisa menangis. Dada saya sesak sekali, rasanya sulit untuk bernafas. Saya bahkan tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi kepada saya. Saya terus menyalahkan takdir, kenapa, kenapa harus saya. Kenapa bukan orang lain saja. Saya masih terlalu muda untuk hidup tanpanya . Kami sangat memerlukan sosok Bapak secara nyata.
Sepanjang perjalanan pulang, saya masih terdiam bahkan tanpa tangisan. Saya masih terdiam dalam kekacauan dan kebingungan serta penolakan saya. Ini tidak mungkin terjadi pada saya, Tuhan bisa kan saya menjadi seorang yang biasa saja, hidup normal dengan orang tua lengkap, jangan Tuhan, jangan pilih saja. acak saja nama lain, asal jangan saya.
Tiba dirumah, orang orang sudah ramai. Tapi saya hanya mencari seorang wanita, Ibu saya, dia pasti jauh lebih terluka. Saya berlari menuju ruang tamu, dia memeluk saya, matanya kosong. Terlalu banyak hal  memenuhi pikiran saya waktu itu dan saya masih tak menangis, saya mengatakan padanya, kita pasti bisa, diluar sana masih banyak yang juga bernasib sama dengan kita. dia kembali memeluk saya sambil menangis.
Ada lagi, gadis kecil itu, adik saya satu satunya, saya memeluknya. Saya tahu diantara kami dia yang paling tidak mengerti apa yang sedang kami hadapi, dia mungkin tau arti kata meninggal, tapi dia pasti tidak berpikir sejauh kami. Betapa sulitnya hidup kami selanjutanya karena Bapak saya satu-satunya yang menopang kehidupan kami. Saya paling sedih melihatnya. Dia adalah orang yang paling saya pikirkan, bagaimana dia akan tumbuh besar tanpa sosok Bapak, bagaimana pendidikannya, dan bagaimana, bagaimana yang lainnya.

Lalu, kami,  terutama saya mulai berdamai dengan keadaan. menenangkan diri dari kekalutan. Berdoa dan berusaha Iklas. Meletakan rasa takut dan menjalani saja hari. Menerima semuanya, karena hanya itu yang bisa dilakukan saat seperti itu. Waktu memberi kami kesempatan, waktu membuat kami semakin kuat. kami berjuang ditengah hantaman takdir yang sungguh kejam. Saya mulai berhenti menyalahkan keadaan,.belajar menerima, menjalani dan berusaha sebaik mungkin. Ibu saya berkerja sangat giat, saya juga mengambil pekerjaan paruh waktu sambil kuliah. Hari ini saya menulis ini setelah kejadian itu berlalu hampir 15 Tahun.

Kini, banyak hal sudah berlalu dan banyak hal sudah terjadi. ketakutan mulai kami dihadapi, rasanya cukup melegakan sekarang, finally setelah bersusah payah saya sudah lulus sekolah di jurusan bahasa dan bekerja. adik saya sedang dalam tahap skripsi di sekolah kesehatan untuk keperawatan. Ibu saya nampaknya paling bahagia. Beliau setiap hari bertarung melawan lelah mengejar bocah laki-laki yang sangat aktif. cucunya. Yah, saya sudah menikah, kan saya sudah bilang ya di tulisan sebelumnya. hahahaha. Suami saya??? nantilah ceritainnya, tetapi yang pasti dia lelaki yang pas untuk saya. hahaha.....
Tetapi entah kenapa rasa itu terasa masih sama. Rasa sedih itu bahkan masih sama setiap teringat hari itu.
Bagaimana pun I do proud of my mother and my sister for always be strong. Entah kami harusnya berada di titik yang bagaimana, tetapi saya yakin, Ayah saya saat ini sedang tersenyum dari sana melihat kami. Please don't be sad, im ok now. Not we are ok now, tolong bantu kami selalu dari sana. And for you, Seperti lagunya Winner, Have a good day, have a good day in heaven.




Posted by nurani | at 01:09

0 comments:

Post a Comment