Back to Habbit

Fuih…… sudah lama banget nih ngak nulis. Otak jadi buntu, sementara tangan kaku, dan berakhir dengan panjangnya kuku. Ngak nyambung. Tapi sesungguhnya untuk itulah Blog ini kudaftarkan. Guna menyalurkan ketidaknyambungan pikir dan kata-kataku. Hasilnya amburadul dan balik lagi ke dua kata “ngak nyambung”. Tapi peduli apa. Itulah aku yang seperti batu. Tidak diperhatikan. Mungkin jauh lebih baik seperti itu, dari pada diomongin, bikin kuping panas dan makan hati. (makanya, aku minum the botol)

Well, btw, aku suka banget menggunakan kata “well” sebagai opening cerita. Mungkin selain simple dan enak didengar, aku juga berharap semua akan seperti makna “well” sendiri, yaitu bagus. Back to main topic. Beberapa minggu yang lalu, aku nonton tipi, dan munculah thriller film Slumdog Millionaire. Awalnya, there is no special feeling of it. Sampai akhirnya aku nonton Oscar, terungkaplah kalau film ini menyimpan sejuta misteri. Kenapa? Kenapa? kenapa? Aku belum nonton film yang mendapat 8 penghargaan dan salah satunya dianugrahi best movie. Oh, stupid I am. Tanpa pikir panjang, aku langsung minjem dan tak pantengi dech.

Memang sangat pantas sekali kalau film ini mendapat penghargaan best movie. Ceritanya simple dan unik. Tetapi tanpa melepaskan unsur komedi dan romantisnya film India, yang biasanya bikin termehek-mehek. Jujur, yang membuat aku cinta mampus sama film ini, adalah plot-nya. Kayak main trampoline. Lompat sana-sini, tapi tetep ringan dan easy understanding. Top Abis. Bisa dibilang film ini sudah menggeser Eternal Sunshine.

Dari awal, film ini sudah begitu menarik perhatian. Adengan-demi adengan yang diiringi plot kutu loncat bener-bener ngak ngebosenin. Terutama karakteristik si Salim kakaknya Jamal, pemeran utama, yang susah banget ditebak. Secara keseluruhan, film ini sebenarnya bisa dikatakan tanpa cela.

Seperti halnya perut orang Indonesia. Kalau ngak makan nasi, ngak kenyang. Karena memang sangat susah untuk merubah kebiasaan, apalagi kebiasaan yang mendarah daging. Lama-lama akan menjadi tradisi. Begitu juga dengan film ini. Aku merasa ada yang kurang dengan film ini. Perasaan itu muncul ketika film sudah berjalan setengahnya. Perasaan janggal. Seperti ada yang kurang, tidak lengkap. Tapi apa ya? Konflik, ada. Lucu, hadir. Romantis, masuk. Lalu, apa yang absen? Kepala mulai mendidih, suhu tubuh meningkat, muka memerah, hati penuh pertanyaan menggelora. (yang ini sungguh didramatisir. Bila ada yang baca tulisan ini, tolong sensor sendiri-sendiri. Soalnya, Badan Sensor Blog belum diresmikan.) Dan wahai saudara-saudara terkasih, Tuhan Maha Mengetahui, dan tentunya pemurah, maka diberikannya pula Jawaban itu. Akhirnya, terjawablah yang absen. Yah, nyanyi lagi-nyanyi lagi. Habbit. Sekalipun menyanyi dan menari tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi film India tanpa itu hambar.

X.O.X.O “Acha-Acha”

Posted by nurani | at 04:08 | 0 comments